Jenderal Soedirman

Gilang Aditya Kurniawan (202210415160)

Jenderal Soedirman memiliki nama asli yakni Raden Soedirman yang lahir pada 24 Januari 1916 di Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah. Jenderal Soedirman memiliki seorang ayah yang bernama Karsid Kartawiraji dan Ibu bernama Siyem yang merupakan keturunan Wedana Rembang. Ia memiliki satu saudara yakni Muhammad Samingan. Jendral Soedirman juga memiliki seorang Istri yang bernama Alifah dan bersamanya ia dikaruniai 7 orang anak. Jenderal Soedirman tidak dibesarkan oleh orang tuanya, ia dibesarkan oleh pamannya bernama Raden Cokrosunaryo yang merupakan seorang camat di Rembang Purbalingga agar ia bisa hidup lebih layak dan mapan.

Jenderal Soedirman mulai sekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS) saat usianya 7 tahun, sebelum beralih ke Taman Siswa saat usianya 8 tahun. Pada tahun berikutnya, Taman Siswa dianggap ilegal di Belanda, jadi ia dipindahkan lagi ke Sekolah Wirotomo. Di Wirotomo pula, Sudirman ikut mendirikan organisasi islam bernama Hizbul Wathan milik Muhammadiyah. Beliau juga menjadi pemimpin organisasi tersebut pada cabang Cilacap setelah lulus dari Wirotomo.

Jenderal Soedirman kemudian kembali ke Cilacap untuk mengajar guru sekolah dasar Muhammadiyah. Dia melanjutkan pendidikannya di Kweekschool, yang akhirnya dibatalkan karena masalah biaya. Selain menjadi pendidik, sang Jenderal juga aktif dalam berorganisasi untuk pemuda Muhammadiyah. Dia dilarang mengajar selama penjajahan Jepang tahun 1942, dan sekolahnya diubah menjadi pos militer Jepang.

Karena keterlibatan aktifnya, Sang Jenderal akhirnya diangkat sebagai ketua Dewan Karesidenan yang baru dibentuk di Jepang pada tahun 1944. Ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor saat pendudukan Jepang, dan setelah belajar, ia langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. menjabat sebagai Panglima Divisi V/Banyumas setelah pembentukan TKR, dan kemudian dipilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI).

Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan, ia berhasil mendapatkan senjata dari pasukan Jepang dalam pertempuran di Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan. Saat TKR dibentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dia juga terpilih menjadi penglima besar TKR atau Panglima Perang Republik Indonesia pada Konferensi TKR 2 November 1945. Dia juga dilantik sebagai Presiden pada 18 Desember 1945 dengan pangkat Jenderal. Ia memperoleh pangkat jenderal karena prestasinya, bukan karena pendidikan tinggi atau Akademi Militer.

Sampai ketika pasukan sekutu tiba di Indonesia dengan tujuan menghapus tentara Jepang, tentara Belanda malah dibonceng. Akhirnya, Sudirman memimpin pasukan TKR untuk bertempur dengan tentara sekutu pada Demeser 1945. Di Yogyakarta, Ibukota Negara RI saat itu, Jenderal Sudirman masih dalam keadaan sakit saat pasukan Belanda melakukan agresi kedua mereka.

Akibat penyakit paru-parunya, kondisi Sudirman sangat lemah dan dia hanya memiliki satu paru-paru yang berfungsi. Menggunakan Tandu, Jenderal Sudirman berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang Gerilya. Sekitar 7 bulan, ia berpindah tempat dari hutan yang satu ke hutan lainnya, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah, sementara itu persediaan obat-obatan juga hampir tidak ada.

Jendral Soedirman memimpin Tentara Nasional untuk melindungi kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Selama Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda II, Soedirman memimpin perang gerilya dari Desember 1948 hingga Juli 1949. Setelah memaksakan diri untuk terus bergerilya melawan Belanda, penyakit Jenderal Soedirman semakin parah. Kondisi Jenderal Soedirman yang semakin memburuk tampaknya tidak membuatnya menyerah untuk pulih.

Sang Jenderal tetap rajin kontrol ke Rumah Sakit Panti Rapih di Yogyakarta untuk berjuang melawan penyakitnya. Saat ia sedang di rawat di Sanatorium Pakem Desember 1949. Namun, upaya untuk menyembuhkan Jenderal Soedirman tidak berhasil, Jendral Soedirman meninggal di usia 34 Tahun, pada tanggal 29 Januari 1950. Panglima Besar ini meninggal di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Dan Ia dinobatkan sebagai Pahlwan Pembela Kemerdekaan.

Comments

Popular Posts